HUTRI; Menimbang-Menakar Nasionalisme Diri


Bersama Bapak Awal Uzhara dan Ibu Susi di KBRI Moscow, Juni 2011

Bersama Bapak Awal Uzhara dan Ibu Susi di KBRI Moscow, Juni 2011

Sayang kepada anak maka dilecuti

Sayang kepada kampung maka ditinggalkan

Larik pertama dari pepatah Minang di atas, sering saya perdebatkan dengan Bapak ketika saya masih kecil. Karena bagi beliau pepatah itu dilaksanakan bak harfiahnya, sedangkan bagi saya itu seperti memaknai bahasa kiasan. Tapi kali ini tulisan saya bukan soal saya yang dulu pernah dilecuti lidi akibat ketahuan mandi di sungai, melainkan tentang larik kedua pepatah tersebut.

Kala itu, Juni 2011. Musim semi memasuki musim panas di Moscow, Rusia. Saya duduk di basement kantor KBRI Moscow bersama Ibu Anisa Erlangga, isteri pejabat kedutaan bidang pertahanan yang baik hati memberikan tumpangan bagi musafir seperti saya di Moscow. Ibu Anisa membuatkan saya janji dengan seseorang, dosen di Moscow University (MGU) yang berkebangsaan Indonesia. Tak lama, datanglah seorang bapak dengan setelan jas abu-abu. Beliau, Awal Uzhara, putra Minang yang berkesempatan mengecap pendidikan luar negeri, sokongan gencar dari Soekarno kala menjadi presiden.

Awal Uzhara, kelahiran Kayu Tanam yang lahir dengan nama Awaluddin. “Tanggal lahir saya sama dengan AA Navis, hanya saja berbeda tahun,” ujarnya sambil tertawa kala itu. Lahir di Kayu Tanam, 17 November 1931, Awal adalah seorang penggiat film di masa mudanya. Pernah memiliki kenangan menjadi asisten sutradara bagi Basuki Effendi dan Bachtiar Siagian, sutradara kondang di masa awal kemerdekaan hingga tahun 1965. Kedua sutradara yang pernah mengecap Pulau Buru akibat aktivitas mereka di LEKRA setelah peristiwa G30S. Bapak Awal akhirnya menjadi sutradara untuk film berjudul Hari Libur di tahun 1957 yang dibintangi oleh Bing Slamet.

Lalu mengapa sosok ini menjadi istimewa bagi saya? Setelah menyutradarai film Hari Libur, Awal Uzhara mendapatkan tawaran beasiswa ke Rusia untuk bersekolah di Institut Sinematografi di Moscow, tahun 1958. Bersama Sjumandjaja dan Zubier Lelo, ia berangkat untuk menuntut ilmu di Negeri Beruang Merah. Akan tetapi, belum rampung masa kuliah, goncangan politik di tahun 1965 mengubah posisi dan jalan hidupnya. Berkesempatan kembali ke Indonesia pada tahun 1966, ia diinterogasi selama 6 bulan, dengan pertanyaan yang diulang-ulang, apakah mengetahui atau terkait dengan gerakan 30 September. Walau telah mengantongi surat keterangan ‘bersih dan tidak terlibat’ –yang hingga saat ini masih disimpannya—tak ada satu pun yang mau menerimanya bekerja di Indonesia. “Siapalah yang mau memperkerjakan lulusan dari Rusia yang sudah pasti dicap komunis, ingin pun membantu kita akan tetapi tentu mereka khawatir akan keselamatan periuk nasi,” demikian ia berkisah.

Hingga tahun 1967, ia kembali ke Rusia. Tetapi jangan mengira ia juga diakui sebagai warga negara Indonesia oleh kedutaan. Pintu kedutaan sejak saat itu tertutup baginya, sebagai satu-satunya rumah Indonesia di negeri itu. Ia bersama kawan-kawan yang bernasib serupa di Rusia, diperlakukan oleh rezim Soeharto yang seakan mencabut paksa ke-Indonesia-an dari tubuh dan sanubari mereka. Hingga tahun 2011 ketika saya memenui beliau, sekiranya sudah 44 tahun setelah terakhir ia menginjak bumi Indonesia, atau 50 tahun semenjak ia mengenal Rusia untuk menuntut ilmu. Barulah pada pertengahan 90-an, ketika posisi Soeharto sudah goncang di Indonesia, pintu gerbang kedutaan kembali terbuka baginya.

Selama berpuluh tahun memendam rindu dan membasuhi hati yang perih karena dikhianati oleh bangsa sendiri. Selama berpuluh tahun pula, ia mendapatkan perlakukan yang baik dan istimewa, mendapatkan tunjangan hidup dan jaminan kesehatan karena kualitasnya sebagai akademisi di Rusia. Walaupun beliau tak mengantongi sertifikat akademis doctoral, namun atas keilmuan dan kemampuannya ia dipercaya untuk mengabdi mengajar di Institut Negara-negara Asia dan Afrika (ISAA) di Moscow University, hingga di tahun pertemuan saya dengan beliau. Pepatah-pepatah Minangkabau masih fasih ia sebutkan, lagu-lagu Minang lama masih sering berdendang-dendang di pikirannya, walaupun ia pernah tak diberikan sedikit pun ruang kembali ke kampung halaman. Walaupun telah diperlakukan tidak adil oleh negara. “Hanya 27 tahun di Indonesia, sedangkan sudah 50 tahun di Rusia, tetapi Fanny, di dada ini tetap Indonesia,” ucapnya mantap dalam getar suara sambil menunjuk dadanya.

Saya tergugu. Punyakah saya nasionalisme sebesar itu? Beliau di tahun 2011 itu masih menantikan pulang ke Indonesia, seperti janji Dubes Rusia kala itu, Hamid Awaluddin. Bapak Awal, dengan kerinduannya kepada rendang dan pisang goreng. Untuk mengobati kerinduan terhadap rendang, ia pernah membuat sendiri rendang yang santannya diganti dengan susu, dan rempah-rempah lainnya diganti dengan thyme. Mana pula mungkin menemukan kelapa dan pohon beserta buahnya di tanah Rusia? Ah, Indonesia. Begitu ia terkenang-kenang akannya. Bahkan di tengah perbincangan saya dengan Pak Awal, Ibu menelepon dari Indonesia ke ponsel saya dan bercakap-cakap sebentar. Selepas saya menutup telepon, beliau berkata, “Kental sekali logat Solok-mu itu, ya!” Sungguh, masih bisa dikenalinya logat bahasa Minang yang saya pergunakan di rumah, yang tiap-tiap daerah di Minangkabau memiliki logat berbeda.

Puji syukur kepada Tuhan, tahun 2012 lalu Bapak Awal Uzhara bisa kembali ke Indonesia dan mengabdi mengajar di Fakultas Ilmu Budaya, Unpad. Sedangkan di tahun 2012 itu pula, saya mendapatkan kesempatan ke China untuk sekolah. Di sana pula saya menemukan mahasiswa-mahasiswa di zaman Soekarno yang dikirim ke China untuk sekolah dan akhirnya bernasib sama dengan Bapak Awal. Tak bisa kembali ke Ibu Pertiwi akibat G30S. Terasing selamanya di negeri orang, hidup tak punya sanak saudara, pihak kedutaan jua tak mengakui bahwa mereka Indonesia. Puluhan tahun terasing, berusaha bertahan hidup, tertatih-tatih melanjutkan studi dengan keringat sendiri, hingga kini mereka mampu menjadi akademisi di negeri orang. Di China, saya bertemu dengan beberapa perempuan sepuh yang lebih tua dari nenek saya tapi tetap tangkas dan sering mengunjungi kami ke asrama mahasiswa asing.

Saya dan teman-teman tak mau memanggil nenek, tapi memanggil bibi atau ayi (阿姨). Mereka sangat sayang kepada kami, menyediakan diri sebagai tempat mengadu bagi kami mahasiswa perantauan. Bahkan sering membawakan kami makanan ke asrama, terkadang membawa masakan Indonesia bagi kami para mahasiswa kere yang kelaparan di musim dingin. Sungguh mereka benar-benar tak menyimpan sedikitpun dendam karena telah dibiarkan oleh negara bahkan dibuang secara terstruktur. Perlindungan yang diberikan kepada kami pun terbaca seperti keprihatinan mereka agar kami tak merasakan sakitnya hidup sendiri di negeri orang tanpa ada tempat mengadu.

Teringat kembali pada dua larik pepatah di awal, jika memang sayang kepada kampung halaman, maka harus ditinggalkan sementara waktu untuk bisa kembali membawa kepandaian dan memajukan kampung halaman. Begitu kira-kira saya memahaminya dulu ketika masih belajar Budaya Alam Minangkabau di bangku SD. Tetapi, kecintaan terhadap kampung halaman dan keinginan untuk mengabdi, tentu saja tak akan mudah dimiliki pabila kita mendapatkan penghidupan yang jauh lebih baik daripada di Indonesia. Bukan hanya soal penerimaan materi, tapi juga penghargaan dan apresiasi. Barulah di sana rasa cinta tanah air itu teruji. Apakah kita memilih melupakan sedikit demi sedikit kampung halaman, ataukah mengambil arifnya peribahasa ‘hujan emas di negeri orang lebih baik hujan batu di negeri sendiri’.

Bagi saya yang masih berumur 25 tahun ini, jika rasa nasionalisme tumbuh subur karena saya hidup di Indonesia dengan aman tenteram, dapat sekolah dengan baik, bisa mencari pekerjaan, dan sebagainya walaupun kondisi politik gonjang-ganjing atau pemimpin mengecewakan, maka itu bukanlah hal yang luar biasa. Karena itu adalah nasionalisme yang sudah harusnya ada. Maka akan menjadi sangat aneh jika kita yang makan, minum, hidup dari tanah dan air Indonesia lalu sama sekali malu menjadi Indonesia.

Yang tentu luar biasa adalah saudara di perbatasan Indonesia-Malaysia di Pulau Kalimatan, yang mampu dan nrimo hidup serba kekurangan sedangkan di saat bersamaan juga melihat kemajuan hanya dalam jarak beberapa meter di perbatasan. Mereka tak mau bertukar kewarganegaraan walau diimingi uang dan fasilitas pendidikan yang jauh lebih baik bagi anak mereka. Dan yang tentu luar biasa nasionalisme-nya adalah mereka yang pernah terbuang dari Indonesia, bahkan ada yang menjadi tahanan politik, menerima cap pemberontak pembuat makar, namun masih terkandung-kandung di hatinya nasionalisme itu.

Yakin kita bisa bertahan dengan lagu ‘merah darahku-putih tulangku’ jika kita di posisi mereka?

Soekarno pernah menolak proposal penambangan emas di Papua yang saat ini tempat Freeport berdiri, karena menurutnya sumber daya manusia Indonesia belum cukup untuk menjadi partner yang posisinya sejajar, sebagai mitra bagi investor asing. Untuk itulah ia gigih mengirimkan pemuda-pemudi Indonesia untuk ke luar negeri, pelajari ilmu apapun, dalami kepandaian apapun yang baik dari negeri orang. Agar kita mampu menjadi tangan-tangan yang mengelola sendiri kekayaan alam, bukan menjadi jongos atau penonton. Semangat ini perlahan terkikis setelah program ini terhenti ketika Soekarno ditumbangkan. Kemudian Freeport pun leluasa mendapatkan kontraknya di tahun 1967, setelah Soeharto berkuasa.

Dan di sinilah kita. Malah Deng Xiaoping di Negeri China sana yang mengadopsi ide itu, mengirimkan sebanyak-banyaknya pemuda China belajar keluar negeri. “Dari 1000 yang dikirim, boleh jadi ada 100 orang yang tak kembali. Tetapi masih akan ada 900 orang lagi yang kembali untuk membangun negeri,” demikian optimisme Deng Xiaoping di tahun 70-an, ketika negerinya belum pula satu kilometer pun jalan tol, di saat kita sudah memiliki jalan tol. Yah, tentu kita tak perlu bertanya lagi, di mana posisi kita dan di mana posisi China saat ini.

Nasionalisme akan dan harus teruji, agar kita bisa benar-benar sadar bahwa hanya kita yang harus membangun negeri ini. Rasa nasionalisme pula yang mendorong Tan Malaka untuk tak menyisakan ruang perundingan sedikit pun bagi Sekutu dan Belanda. Baginya, dipenjara oleh saudara sebangsa, ditangkap sebagai tahanan politik atas permintaan pihak asing sebagai prasayarat perundingan tak menghilangkan ke-Indonesia-an di nadinya. Manusia merdeka bagi bangsa merdeka, hanya itu yang dimintanya.

Kalah atau menangnya itu terletak pada “salah atau benarnya”. Ia mengambil “sikap” terhadap kecerobohan. Dan juga pada lemah atau kuat imannya memegang sikap yang sudah diambilnya. Seandainya pada tanggal 10-11 November itu rakyat Surabaya bertekuk lutut terhadap tuntutan yang melanggar hak dan kehormatannya sebagai bangsa merdeka, maka dunia luar dan anak cucu Rakyat Indonesia sekarang akan mengutuki sikap bertekuk lutut itu.” Aduhai nyawa, belumlah kami terlahir ke dunia, akan tetapi harkat dan martabat saya dan manusia Indonesia lainnya di era milenium ini telah menjadi pokok perjuangan Tan Malaka. Ia tak mau saya, dan pemuda lainnya menanggung malu akibat cap sebagai bangsa pengecut.

Lalu bagaimana saya sepeninggal Tan Malaka, sesudah berbincang dengan Awal Uzhara, dan dilimpahi kasih sayang oleh Ayi, yang juga beruntung terlahir sebagai manusia merdeka? Jika nasionalisme hanya sekedar kata-kata, maka sepertinya saya tak layak menjadi anak cucu Rakyat Indonesia yang diperjuangkan Tan Malaka. Akhir kata, Dirgahayu Indonesia. Sungguh saya bersyukur,  negeri ini masih diberikan banyak contoh keteguhan akan kecintaan tanah air. Menjadi suri tauladan bagi pemuda-pemudi yang tengah mengupayakan dirinya dalam ilmu dan perjuangan, untuk bisa pantas menjadi anak cucu Rakyat Indonesia yang dicita-citakan Tan Malaka. Merdeka 100%

About Fanny Yulia

Hanya seorang manusia yang terus mencari tahu apa yang seharusnya diperbuat untuk menjadi satu inti atom dari benda yang bernama ‘perubahan.’ Ibarat alam terhampar menjadi guru. Dan saya hanya berangkat dari ketidaktahuan, semoga semua ion perubahan (baca: setiap orang) dapat berbagi ilmu dan cerita, bersedekah saran dan pengalaman, serta bermurah kritik dan masukan. Nan satitiak jadikan lawik, nan sakapa jadikan gunuang, pepatah dari bumi tempat saya lahir. Yang berarti, sedikitpun itu yang didapat, sekiranya bisa diambil untuk kebaikan.

Posted on 17/08/2013, in Humaniora, Sosial Politik, Umum. Bookmark the permalink. 4 Comments.

  1. Bangsa Indonesia harus bangkit lebih proteksi diri dan mulaibelajar apa yang namanya membangun bangsa indonesia yang maju dan berkwalitas serta tidak lupa akan agamanya

  2. Assalamualaikum. Salam kenal dari saya pencipta adat budaya minang,, untuk sebuah perubahan sudah sepatunya kembali kepada budaya

    • Salam kenal, Buya. Benar sekali, akar budaya merupakan jati diri kita, malah kita lebih dahulu diberikan pelajaran menjadi individu yang berbudaya barulah individu yang bernegara. Maka jika perubahan ingin dilakukan, budaya merupakan titik pijak kita 🙂 Salam

Berikan komentar