Category Archives: Komunikasi

Pemasaran Politik di Pemilu 2014*

Pemasaran Politik Gaya AS dan Eropa

Dalam sistem politik dan sistem pemilihan umum berbeda, maka pemasaran politik juga akan berbeda. Sehingga negara-negara bersistem demokrasi presidensial atau parlementer memerlukan fokus yang berbeda yang akan ‘dijual’ di dalam pemasaran politik. Dalam konteks di Amerika Serikat, mereka memiliki pemasaran politik pra kampanye, masa konvensi, hingga pemilihan nasional. Sedangkan di Eropa khususnya Eropa Barat yang memiliki sistem politik multipartai dan beberapa merupakan negara parlementer seperti Inggris, maka strategi dalam pemasaran akan jauh berbeda dibandingkan dengan AS. Gaya pemasaran komunikasi di Amerika Serikat memiliki ciri khas yaitu penggunaan media sebagai media kampanye. Gaya ini kemudian menjadi patron bagi banyak negara demokrasi lainnya di dunia. Gaya pemasaran politik di Eropa biasanya lebih memfokuskan bagaimana kandidat tersebut berbicara di depan umum.

Namun di kalangan ilmuwan komunikasi politik, terdapat semacam kesepakatan bahwa dalam dua dekade terakhir ini terdapat perubahan mendasar dalam cara-cara politik dikomunikasikan, khususnya dalam campaign communication, di negara-negara demokrasi maju di Eropa seperti Inggris, Jerman, Prancis, atau Italia. Salah satunya ditinggalkannya gaya komunikasi interpersonal langsung (direct campaign) dan digantikan dengan kampanye media.[1] Perbedaan antara gaya  pemasaran politik Eropa dan Amerika adalah fokus produk yang dijual kepada pemilih. Di Amerika, karena pemilihan yang berjenjang, maka konsekuensinya adalah semakin mengerucutkan magnet pemasaran kepada kandidat (personal). Sedangkan di Eropa, produk yang dijual kepada publik adalah partai dan kebijakan partai. Karena dalam pemlihannya menggunakan daftar partai bukan daftar kandidat. Read the rest of this entry

Kampanye Hitam vs Kampanye Negatif*

Kampanye negatif dan kampanye hitam adalah hal yang berbeda, walaupun dalam kedua hal tersebut terdapat hal yang buruk yang disampaikan. Menurut Yohanes Sulaiman dalam opininya di harian The Jakarta Post[1], kampanye negatif juga disebut dengan kampenye kritis. Hal ini juga berlandaskan pada tujuan dari demokrasi yang mensyaratkan pemahaman masyarakat atas siapa yang mereka pilih sebagai pemimpin atau program apa nantinya yang akan mereka terima. Selain itu juga, membuat para pemilih untuk lebih kritis dan memberikan gambaran serta pertimbangan atas siapa calon yang akan mereka pilih.

Kampanye negatif adalah berupa evaluasi terhadap kinerja calon petahana yang sengaja dikemukakan oleh tim kampanye lain, dengan tujuan agar masyarakat mengetahui track record negatif kandidat tersebut. Aspek negatif yang dikemukakan untuk menyerang lawan tentu akan merugikan citra, popularitas, dan elektabilitasnya. Seperti pengertian kampanye negatif yang saya sitir dari situs Wikipedia: negative campaigning is trying to win an advantage by referring to negative aspects of an opponent or of a policy rather than emphasizing one’s own positive attributes or preferred policies. Read the rest of this entry